Kista
Dentigerus
1. Definisi
Kista
dentigerous adalah kista yang terbentuk disekitar mahkota gigi yang belum
erupsi. Kista ini mulai terbentuk bila cairan menumpuk di dalam lapisan-lapisan
epitel email yang tereduksi atau diantara epitel dan mahkota gigi yang belum
erupsi. Kista ini merupakan jenis kista terbanyak setelah kista radikuler.
Tumbuh paling sering di regio posterior mandibula atau maksila dan umumnya
berkaitan dengan gigi molar ketiga. Predileksi tumbuh tersering kedua adalah di
regio kaninus yang dikaitkan dengan gigi kaninus impaksi. Kista jenis ini dapat
ditemukan pada semua jenis usia dengan predileksi terbesar pada usia 20 tahun.
Kista dapat tumbuh dalam ukuran besar dengan diameter mencapai 10-15 cm.Kurt H
Thoma (1969) mengatakan bahwa kista dentigerous adalah suatu kantong yang
dibungkus oleh epitelium yang terjadi dari enamel organ yang berhubungan dengan
mahkota gigi yang tidak erupsi. Mervyn Shear (1992) mendefinisikan kista
dentigerous sebagai kista yang menutupi gigi yang belum erupsi dengan perluasan
folikelnya dan menyerang hingga keleher gigi. Menurut Gordon W Pedersen (1996),
kista dentigerous adalah pembesaran ruangan folikular di sekitar gigi yang
belum erupsi.
2. Prevalensi
Kista
dentigerous merupakan kista odontogenik perkembangan yang mengelilingi
mahkota gigi yang tidak erupsi, terjadi akibat akumulasi cairan antara epitel email tereduksi,paling sering terjadi pada molar tiga mandibula. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar prevalensi kista dentigerous pada pasien akibat impaksi gigi molar tiga bawah yang berkunjung ke bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis pasien selama periode Juli 2006 – Juni 2011. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 316 (0,78%) kasus kista oromaksilofasial pada periode tersebut. Kista dentigerous merupakan jenis kista odontogenik terbanyak yang ditemukan yaitu sebesar 48,64%. Kista dentigerous paling banyak disebabkan oleh impaksi gigi molar tiga bawah yaitu sebesar 13,89%. Penderita kista dentigerous akibat impaksi gigi molar tiga bawah pada laki-laki sama jumlahnya dengan perempuan yaitu masing-masing sebesar 50%. Kelompok umur yang paling banyak menderita kista dentigerous akibat impaksi gigi molar tiga bawah adalah kelompok umur 41-50 tahun yaitu sebesar 40%. Terapi yang paling sering dilakukan adalah enukleasi sebanyak 100%. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa kista dentigerous paling banyak disebabkan impaksi gigi molar tiga bawah, dengan frekuensi pada laki-laki sama dengan perempuan, paling banyak diderita oleh kelompok umur 41-50 tahun, dan terapi yang paling banyak dilakukan adalah enukleasi.
mahkota gigi yang tidak erupsi, terjadi akibat akumulasi cairan antara epitel email tereduksi,paling sering terjadi pada molar tiga mandibula. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar prevalensi kista dentigerous pada pasien akibat impaksi gigi molar tiga bawah yang berkunjung ke bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif. Sampel penelitian diambil dari data rekam medis pasien selama periode Juli 2006 – Juni 2011. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 316 (0,78%) kasus kista oromaksilofasial pada periode tersebut. Kista dentigerous merupakan jenis kista odontogenik terbanyak yang ditemukan yaitu sebesar 48,64%. Kista dentigerous paling banyak disebabkan oleh impaksi gigi molar tiga bawah yaitu sebesar 13,89%. Penderita kista dentigerous akibat impaksi gigi molar tiga bawah pada laki-laki sama jumlahnya dengan perempuan yaitu masing-masing sebesar 50%. Kelompok umur yang paling banyak menderita kista dentigerous akibat impaksi gigi molar tiga bawah adalah kelompok umur 41-50 tahun yaitu sebesar 40%. Terapi yang paling sering dilakukan adalah enukleasi sebanyak 100%. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa kista dentigerous paling banyak disebabkan impaksi gigi molar tiga bawah, dengan frekuensi pada laki-laki sama dengan perempuan, paling banyak diderita oleh kelompok umur 41-50 tahun, dan terapi yang paling banyak dilakukan adalah enukleasi.
3. Patofisiologi
Sisa-sisa
epitel atau glands of serres yang tersisa setelah terputusnya dental lamina.
Ini merupakan penyebab keratosis odontogenik. Juga dapat menjadi penyebab
beberapa kista odontogenik developmental lainnya, seperti kista gingival dan
kista lateral periodontal.
Epitel
email tereduksi yang berasal dari organ email dan mennutupi gigi impaksi yang
sudah terbentuk sempurna.Kista dentigerous , kista erupsi, dan kista paradental
inflamatorry berasal dari jaringan ini.
Sisa-sisa
malasses yang terbentuk melalui fragmentasi dari ephithelial root sheath of hertwig.
Seluruh kista radikuler berasal dari sisa jaringan ini.
4. Etiologi
Kista dentigerous merupakan kista
yang terbentuk di sekitar mahkota gigi dan melekat pada cemento-enamel junction
gigi yang tidak erupsi (Cawson, 2002). Secara kasat mata, bentuk kista
dentigerous dapat dilihat pada grossspecimen. Kista dentigerous juga disebut
sebagai kista folikular sebab merupakan hasil pembesaran folikel, berasal dari
akumulasi cairan antara reduced enamel epithelium dan enamel gigi (Regezi,
2003).
5.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Radiografi
A.1 Kista dentigerous sentral
Kista
mengelilingi mahkota secara asimetris, menggerakkan gigi kearah yang berlawanan
dengan erupsi normal (Cawson, 1991).
A.2 Kista dentigerous lateral
Pada
tipe lateral, kista berkembang pada sisi mesial dan distal dari gigi dan meluas
jauh dari gigi, hanya menutupi sebagian mahkota gigi, menyebabkan miringnya
gigi kearah yang tidak diliputi kista (Cawson, 1991).
A.3 Kista dentigerous
sirkumferensial
Pada
tipe sirkumferensial, seluruh organ enamel di sekitar servikal gigi menjadi
kistik, sering menyebabkan gigi bererupsi menembus kista sehingga menghasilkan
gambaran seperti radkular (Cawson, 1991).
Kista
dentigerous biasanya memiliki korteks yang berbatas jelas dengan outline
berbentuk kurca atau sirkuler. Jika terjadi inflamasi korteksya hilang.Lesi
berbentuk unilokular, namun efek multilokular dapat dihasilkan dari ridge dinding tulang. Kista dentigerous
biasanya soliter, bila terlihat multiple disertai sindrom nevoid basal sel
karsinoma (Cawson, 1991).
b.
Histopatologi
Fibrosa jaringan pendukung pada
kista ini biasanya menunjukan adanya epitel Squamos yang strafikasi. Pada kista
dentigerous yang tidak terinflamasi memiliki epitel lining yang tidak
berkeratin dan memiliki sel layers sebanyak empat hingga enam
ketebalannya. Kemudian, mungkin ditemukan sel mukosa, sel siliasi, dan
terkadang sel sebaceous pada epitelium lining. Epitelium ini – perlekatan
jaringan konektiv biasanya berbentuk datar, walaupun pada kasus dengan second
inflamasi, nampak adanya bercak – bercak.
6.
Gejala Klinis
Gejala
kista dentigerous tidak terlihat bila masih tahap awal. Kista dentigerous yang
belum mengalami komplikasi seperti kista lainnya tidak akan menyebabkan gejala
sampai pembesarannya nyata terlihat. Meskipun gejala biasa tidak ada, dengan
terlambatnya erupsi gigi semakin besar pula indikasi terjadinya kista
dentigerous. Kista dentigerous dapat dideteksi melalui pemeriksaan radiografis
atau pada saat dilakukan pemeriksaan gigi yang tidak erupsi. Infeksi dapat
menyebabkan gejala umum seperti bengkak yang membesar dan rasa sakit (Sudiono,
2011).
Kista
dentigerous biasanya terdeteksi pada anak-anak, remaja atau dewasa, walaupun
terkadang dapat ditemukan pada orang yang lebih tua. Jenis kista dentigerous
yang berhubungan dengan erupsi gigi sulung dan tetap pada anak dinamakan kista
erupsi atau kista hematoma. Secara klinis, lesi tampak sebagai pembengkakan
linger alveolar diatas tempat gigi yang sedang erupsi. Saat rongga kista sirkumkoronal berisi darah,
pembengkakan tampak ungu atau sangat biru sehingga dinamakan erupsi hematoma
(Sudiono, 2011).
Kista
dentigerous umumnya berkaitan dengan gigi molar tiga dan caninus maksilaris,
yang mana paling banyak diakibatkan karena gigi yang impaksi. Insidensi
tertinggi dari kista dentigerous adalah saat usia 20-30 tahun. Gejalanya yaitu
terlambatnya erupsi gigi menjadi indikasi utama pembentukan kista dentigerous.
Kista ini mampu berkembang hingga ukuran yang besar, kadang-kadang disertai
dengan ekspansi tulang kortikal. Kista dengan ukuran yang besar juga dapat
disertai dengan pembengkakan intraoral, ekstra oral maupun keduanya. Dengan
ukuran ini juga dapat menyebabkan wajah yang menjadi asimetris, pergeseran
gigi. Kista dapat berkembang menjadi infeksi sekunder yang mana bermanifestasi
menyebabkan nyeri pada sekitar kista. Saat tidak ada infeksi, secara klinis
pembesarannya minimal dan berbatas tegas. Kista yang infeksi menyebabkan rasa
sakit dan sensitive bila disentuh. Semua tanda infeksi akut dapat terlihat
ketika terjadi infeksi (Yuli fitriana, 2014).
7. Diagnosa Banding
Diagnosis
banding radiolusensi perikoronal kista dentigerous meliputi odontogenik
keratosis, ameloblastoma, dan tumor odontogenik. Transformasi ameloblastik dari
dentigerous cyst lining juga bisa menjadi diagnose banding. Tumor odontogenik
adenomatoid bisa menjadi pertimbangan apabila ada radiolusensi perikoronal
anterior, dan fibroma ameloblastik apabila ada lesi yang terjadi di rahang
posterior pasien usia muda.
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat
terjadi dari kista dentigerous di antaranya:
a. Kista yang terjadi pada
rahang atas dapat menyumbat dan merubah posisi maxillary antrum dan
rongga hidung, terutama kista yang berukuran besar.
b. Kista yang terjadi pada rahang bawah dapat menyebabkan parestesi dan dapat terjadi perubahan displastik.
b. Kista yang terjadi pada rahang bawah dapat menyebabkan parestesi dan dapat terjadi perubahan displastik.
9. Prognosis
Prognosis dari kista dentigerous
ialah baik dan jarang terjadi rekurensi apabila kista diambil sempurna
(Motamedi dan Talesh, 2005).
10. Penatalaksanaan
Kista dentigerous biasanya mudah
diangkat dengan cara enukleasi, dimana pada gigi yang berhubungan juga
dilakukan ekstraksi. Enukleasi dari kista tersebut juga dapat dilanjutkan
dengan perawatan ortodontik untuk menahan gigi yang bersangkutan (misalnya
kaninus maksila).
Untuk kista yang lebih besar harus
dilakukan marsupialisasi, karena apabila dilakukan enukleasi dan ekstraksi akan menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh
darah pada gigi serta struktur anatomi disekitar. Seperti sinus maksilaris,
rongga nasal ataupun rongga orbita.
Pada kasus dimana kista hampir
memenuhi sebagian besar mandibula, tindakan awalm dilakukan ialah exteriorization atau marsupialisasi
kista sehingga terjadi dekompresi dan penyusutan pada lesi, dengan demikian
akan mengurangi daerah pembedahan pada nantinya. Untuk mendapatkan akses ke
kista, dilakukan dengan cara membuat flap mukoperiosteal yang cukup (Carrera,
2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar