Minggu, 22 November 2015

Pengaruh faktor sistemik pada periodonsium

1.      Kelainan Endokrin dan perubahan hormonal
a.       Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolik dengan manifestasi tingginya glukosa darah. Diabetes mellitus di klasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu diabetes mellitus tipe I, diabetes mellitus tipe II dan gestasional diabetes mellitus (Tjokroprawiro et al., 2007). Diabetes memiliki efek yang merugikan terhadap jaringan periodontal termasuk menurunnya produksi kolagen, rusaknya fungsi neutrofil, meningkatnya kerusakan periodontal. Penyakit periodontal yang biasanya muncul darpat berupa gingivitis, periodontitis kronis (Grover and Luthra, 2013). Efek dari diabetes mellitus memicu kerusakan periodontal dimana sulit disembuhkan apabila penyakit sistemik tidak dikontrol (Newman et al, 2006).

b.      Hormon seks wanita
Perubahan hormonal seperti gingiva pada masa pubertas, perubahan gingiva berhubungan dengan siklus menstruasi, dan penyakit gingiva pada kehamilan.
1.      Gingiva pada masa pubertas
Pubertas sering disertai dengan respon berlebihan dari gingiva terhadap plak. Peradangan, perubahan warna merah kebiruan, edema, pembesaran gingiva hasil dari faktor lokal yang biasanya akan mendapatkan respon gingiva ringan (Newmann et al, 2006).
2.      Perubahan gingiva berhubungan dengan siklus menstruasi
Selama periode menstruasi, prevalansi gingivitis meningkat. Setiap pasien mengeluhkan gusi berdarah atau gendut. Eksudat dari inflamasi gingiva meningkat selama menstruasi, menunjukkan bahwa gingivitis diperparah saat menstruasi (Newmann et al, 2006).
3.      Penyakit gingiva pada kehamilan
Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan meliputi peningkatan konsentrasi hormon seks yaitu estrogen dan progesteron. Progesteron merupakan hormon seks kehamilan yang utama. Kadarnya meningkat sampai bulan kedelapan kehamilan dan menjadi normal kembali setelah melahirkan. Kadar estrogen meningkat secara lambat sampai akhir kehamilan. Estrogen dan progesteron memiliki aksi biologi penting yang dapat mempengaruhi sistem organ lain termasuk rongga mulut. Reseptor bagi estrogen dan progesteron dapat ditemukan pada jaringan periodontal. Akibatnya, ketidakseimbangan sistem endokrin dapat menjadi penyebab penting dalam patogenesis penyakit periodontal. Peningkatan hormon seks steroid dapat mempengaruhi vaskularisasi gingiva, mikrobiota subgingiva, sel spesifik periodontal dan sistem imun lokal selama kehamilan. Beberapa perubahan klinis dan mikrobiologis pada jaringan periodontal selama kehamilan adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan kerentanan terjadinya gingivitis dan peningkatan kedalaman poket periodontal. 2. Peningkatan kerentanan bagi terjadinya infeksi. 3. Penurunan kemotaksis neutrofil dan penekanan produksi antibodi. 4. Peningkatan sejumlah patogen periodontal (khususnya Porphyromonas gingivalis). 5. Peningkatan sintesis PGE2 (Astuti, 2011).
c.       Hormon Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH)yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku (Anonim, 2011).
Pada manusia, administrasi sistemik kortison dan ACTH tidak berpengaruh pada keparahan gingiva dan penyakit periodontal. Kortison eksogen mungkin memiliki efek buruk pada kualitas tulang dan fisiologi. Administrasi sistemik kortison pada hewan percobaan menyebabkan osteoporosis tulang alveolar, dilatasi kapiler dan pembengkakan, perdarahan pada ligament periodontal dan jaringan ikat gingiva, degenerasi dan pengurangan jumlah serat kolagen dari ligament periodontal dan kerusakan yang meningkat dari jaringan periodontal terkait dengan peradangan (Newmann et al, 2006).
d.      Hyperparatiroid
Hiperparatiroidisme dapat berakibat antara lain menjadi tumor coklat maksila, pembesaran tulang basis skeletal, dan mempengaruhi mobilitas gigi. Beberapa kelaianan pada tulang yang lain antara lain adalah demineralisasi tulang, fraktur rahang, lesi fibrokistik radiolusen, penurunan ketebalan korteks tulang, dan lain-lain. Sedangkan pada gigi dan jaringan periodonsium antara lain terlambat tumbuh, hipoplasi enamel, klasifikasi pulpa, penyempitan pulpa, dan lain-lain (Proctor et al, 2005).
2.      Kelainan hematologi dan defisiensi imun
a.       Leukimia
Penyakit leukemia merupakan neoplasia ganas dari prekursor sel darah putih yang disebabkan oleh difusi penempatan ulang dari sumsum tulang dengan proliferasi sel leukemia, jumlah yang abnormal, dan bentuk sel darah putih yang belum dewasa di dalam sirkulasi darah, dan infiltrasi secara luas pada hati, limpa, nodus limfe, dan bagian tubuh lainnya.
Manifestasi periodontal dari leukemia terdiri infiltrasi leukemia, perdarahan, ulser di mulut dan infeksi. Ekspresi dari tanda-tanda tersebut adalah biasa pada akut dan bentuk subakut dari leukemia dari pada bentuk kronik. Sel-sel leukemia dapat menyusup pada gingiva dan sedikit tulang alveolar. Infiltrasi gingiva sering mengakibatkan pembesaran gingiva leukemia (Anonim, 2012).
b.      Anemia
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count) (Bakta, 2009). Anemia berat ditandai dengan mobilitas gigi dan umumnya kehilangan tulang alveolar yang parah dilihat dari pemeriksaan radiografi (Hatipoglu et al, 2012).
c.       Thrombocytopenia
Trombositopenia imun primer adalah gangguan perdarahan yang diperoleh dengan tidak ada penyebab klinis jelas trombositopenia. Indikator klinis dari ITP termasuk mudah memar pada kulit, perdarahan berkepanjangan pada cedera, lesi mukokutan seperti petechiae dan ekimosis, epistaksis, perdarahan gastrointestinal, hematuria dan perdarahan dari gusi (Sangwan et al, 2013). 
d.      Kelainan leukosit
Gangguan yang mempengaruhi produksi atau fungsi leukosit dapat mengakibatkan kerusakan periodontal yang parah. Leukosit polymorphonuclear memainkan peran penting dalam infeksi bakteri karena PMN adalah garis pertahanan pertama. Banyak kondisi sistemik terkait dengan atau predisposisi untuk kerusakan periodontal termasuk gangguan genetik yang mengakibatkan jumlah yang memadai fungsi sirkulasi neutrofil. Pentingnya neutrofil dalam perlindungan periodonsium terhadap infeksi.
Periodontitis parah telah diamati pada individu dengan gangguan neutrofil primer seperti neutropenia, agranulositosis, sindrom Chediak-higashi, dan Lazy leukocyte syndrome. Disamping itu, periodontitis parah pada individu menunjukkan penurunan neutrofil sekunder, seperti yang terlihat dalam sindrom Down, sindrom Papillon Lefevre, dan penyakit inflamasi usus (Newmann et al, 2006).
e.      Kelainan defisiensi antibody
1.      Agammaglobulinemia
Agammaglobulinemia adalah defisiensi imun yang dihasilkan dari produksi antibodi yang tidak memadai disebabkan oleh kekurangan dalam sel B. Bisa bawaan atau diperoleh. Fungsi sel T tetap normal di agammaglobulinemia. Penyakit ini ditandai dengan infeksi bakteri rekuren, terutama telinga, sinus, dan infeksi paru-paru. Pasien juga rentan terhadap infeksi periodontal, periodontitis agresif adalah temuan umum pada anak-anak didiagnosis dengan Agammaglobulinemia (Newmann et al, 2006).
2.      Acquired Immunodeficiency Syndrome
AIDS disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan penghancuran limfosit, pasien rentan terhadap infeksi oportunistik, termasuk lesi periodontal destruktif dan keganasan (Newmann et al, 2006). 
Manifestasi oral dari infeksi HIV sering kali banyak, timbul bersamaandan rekuren. Tanda-tanda HIV pada jaringan periodontal yaitu 
a.       Gingivitis Ulseratif Nekrotika (NUG)
 
Ditandai dengan kemunculan mendadak gingiva yang membengkak, berdarah, berwarna merah, dan sakit, disertai bau mulut. Papila interdental menjadi tumpul, membulat, mengalami ulserasi, dan tertutup lapisan nekrotik yang berwarna abu-abu, tanpa kerusakan tulang.

 

 
b.      Periodontitis Ulseratif Nekrotika (NUP)

 
Kerusakan perlekatan periodontal dan tulang yang berlangsung cepat dan bersifat merusak. Pada awalnya timbul manifestasi pada bagian anterior jaringan periodontal, kemudian menyebar ke daerah posterior, dan mempunyai kecenderungan yang khas untuk berjalan ke daerah gigi insisif dan molar. 

 

 
c.       Eritema Gingiva Linear

 
Infeksi candida pada orang imunosupresi yang ditandai oleh pita linear yang nyata dan berwarna merah di sepanjang gingiva tepi. Terlihat pada gingiva cekan dan non cekat sebagai bercak atau titik kecil berwarna merah atau merah tua (Langlais et al, 2009).
d.      Hairy Leukoplakia

 
Kelainan yang ditandai oleh lesi yang menonjol, berwarna putih, berkelok-kelok pada tepi lateral lidah. Lesi putih terutama terletak pada tepi lateral lidah, tetapi dapat meluas sampai menutup permukaan dorsal dan ventral (Langlais et al, 2009). 

 
e.       Sarkoma Kaposi

 
 Sarkoma Kaposi adalah kanker yang mempengaruhi lapisan pembuluh darah limfatik saluran di orang-orang dengan kekebalan menurunkan biasanya pasien dengan infeksi HIV. Awalnya dikenal sebagai penyakit yang berpengaruh pada laki-laki usia lanjut di daerah Eropa Timur atau Laut Tengah. Sarkoma kaposi juga terjadi pada laki-laki Afrika dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Penyebab tertinggi sekarang adalah infeksi HIV. Penyakit ini biasanya dilihat pada kulit, atau dalam lapisan mulut, hidung, atau mata (Mandal, 2012). 
3.      Kelainan Genetik
a.      Down syndrome
Sindroma Down merupakan penyakit genetik yang terkait dengan ekstra kromosom 21 pada manusia. Sindroma Down merupakan gangguan kromosom yang paling umum terjadi dengan prevalensi 9,2 kasus per 10.000 kelahiran di AS. Penderita sindroma Down memiliki beberapa kelainan secara mental dan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan rongga mulut. Permasalahan pada rongga mulut yang sering terjadi adalah penyakit periodontal seperti gingivitis dan periodontitis mulai terjadi semenjak usia dini dan tingkat keparahannya sejalan dengan pertambahan usia. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa keadaaan oral higiene pada sindroma Down cenderung buruk (Lubis, 2015).
Manifestasi dari Sindroma Down pada rongga mulut yaitu penyakit periodontal yang parah (masalah kesehatan mulut yang paling signifikan), prevalensi lebih rendah dari karies gigi, erupsi gigi permanen tertunda, maloklusi, kongenital gigi yang hilang dan cacat yang umum; hipoplasia pada pertengahan wajah; hypodontia, mikrodonsia; macroglossia, pecah-pecah dan menonjol pada lidah; dan tongue thrust, bruxium, clenching, dan pernapasan melalui mulut.
Pasien dengan Sindroma Down sering kehilangan gigi mereka di awal remaja mereka karena penyakit periodontal serta faktor lainnya yaitu defisiensi imun, kontrol yang tidak memadai plak bakteri, kurangnya fungsi pengunyahan, penuaan dini, perubahan dalam anatomi gigi (akar pendek) (Burzynski SP, 2015).
b.      Papillo Lefvre Syndrome
Sindrom Papillon-Lefevre adalah kasus yang jarang (1-4 kasus per juta), merupakan  gangguan resesif autosomal yang menunjukkan manifestasi didominasi lisan dan dermatologis dalam bentuk periodontitis agresif mempengaruhi baik gigi dan palmoplantar hiperkeratosis primer dan permanen (Rathod dan Joshi, 2010).
4.      Kelainan stress dan psikomatik
a.       Stres psikososial, depresi, dan coping
Individu dengan keterampilan berfokus pada  masalah bernasib lebih baik daripada individu dengan berfokus pada emosi yang berhubungan dengan penyakit periodontal. Sebagai bagian dari analisis, para peneliti juga menemukan bahwa stress kronis dan tidak dapat  mengatasi perubahan kebiasaan sehari-hari, seperti kebersihan mulut yang lebih buruk, clenching dan grinding, menurunnya aliran saliva, dan menekan imun. Metode mengatasi emosi untuk membuat host lebih rentan terhadap efek kerusakan penyakit periodontal daripada metode penanggulangan praktis (Newmann et al, 2006).
b.      Stres yang disebabkan imunosupresi
Individu yang stres memiliki kebersihan mulut yang lebih buruk, mulai atau meningkatnya clenching dan grinding pada gigi, mungkin merokok akan lebih sering (Newmann et al, 2006). 
c.       Pengaruh stress pada hasil terapi periodontal
Individu dengan depresi memiliki hasil terapi pasca yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan mereka yang tidak depresi . penulis menyimpulkan bahwa depresi mungkin memiliki efek negatif pada hasil perawatan periodontal (Newmann et al, 2006).
d.      Kejiwaan yang berpengaruh pada cedera diri
Gangguan psikosomatik dapat mengakibatkan efek berbahaya bagi kesehatan jaringan periodonsium di rongga mulut melalui kebiasaan yang merugikan. Kebiasaan neurotik, seperti grinding atau clenching gigi, menggigit benda asing, menggigit kuku, dan penggunaan berlebihan dari tembakau, semua berpotensi merugikan gigi dan periodonsium. Cedera gingiva ditimbulkan seperti resesi gingiva pada anak-anak dan orang dewasa (Newmann et al, 2006).
5.      Pengaruh nutrisi
a.       Obesitas
Obesitas atau kegemukan berperan menjadi faktor resiko yang besar dari penyakit kronis, termasuk hipertensi dan stroke, penyakit-penyakit kronis mulut dan berbagai bentuk kanker. Para peneliti menemukan bahwa prevalensi penyakit periodontal pada individu dengan obesitas yang berumur 18-34 tahun adalah 76% lebih tinggi daripada individu dengan berat normal pada kelompok umur yang sama.
Obesitas berperan sebagai faktor resiko periodontitis melalui TNF- α. Terjadinya obesitas berkaitan dengan adanya penimbunan asam lemak bebas, yang juga dapat menimbulkan diabetes mellitus. Hal ini menunjukkan adanya saling keterkaitan antara obesitas, diabetes mellitus, dan penyakit periodontal.
Beberapa hal yang terjadi pada pasien diabetes sehingga cenderung memperparah penyakit periodontal adalah : Kandungan glukosa yang terdapat di dalam cairan gingiva dan darah pada pasien diabetes dapat mengubah lingkungan mikroflora, meliputi perubahan kualitatif bakteri yang berpengaruh terhadap keparahan penyakit periodontal, penderita diabetes rentan terhadap terjadinya infeksi, pada pasien diabetes yang tidak terkontrol yang megalami hiperglikemi kronis terjadi pula perubahan metabolism kolagen, dimana terjadi peningkatan aktivitas collagenase dan penurunan collagen synthesis. Kolagen yang terdapat di dalam jaringan cenderung lebih mudah mengalami kerusakan akibat infeksi periodontal yang mempengaruhi integritas jaringan tersebut (Amalia, 2010).
b.      Kekurangan vitamin larut lemak
Vitamin A, D, E, dan K termasuk vitamin yang larut dalam lemak. Vitamin larut lemak yang diserap melalui saluran usus dengan bantuan lipid (lemak). Kemungkinan besar menumpuk di dalam tubuh, vitamin yang larut dalam lemak lebih cenderung menyebabkan hypervitaminosis daripada vitamin yang larut dalam air. Tanda-tanda pertama dari kekurangan beberapa mikronutrien terlihat pertama dalam mulut, seperti glositis, cheilitis, dan radang gusi (Saini, 2011).
Pada defisiensi vitamin A terjadi hyperkeratosis dan hyperplasia pada gingiva dengan kecenderungan pembentukan poket periodontal yang meningkat. Pada defisiensi vitamin D terjadi osteoporosis pada tulang alveolar, osteoid yang membentuk pada tingkat normal, tetapi tetap tidak terkalsifikasi, kegagalan osteoid untuk menyerap, yang mengarah ke akumulasi yang berlebihan, pengurangan lebar ligamen periodontal, tingkat normal pembentukan sementum, tetapi kalsifikasi rusak dan beberapa resorpsi, dan distorsi pola pertumbuhan tulang alveolar. Pada vitamin E mempercepat penyembuhan luka pada gingiva (Newmann et al, 2006).
c.       Kekurangan vitamin larut air
Vitamin B dan C termasuk vitamin larut dalam air. Vitamin yang larut dalam air larut dalam air dan secara umum dapat segera dikeluarkan dari tubuh, asupan harian begitu konsisten penting (Saini, 2011). Pada defisiensi vitamin B terjadi gingivitis, glositis, glossodynia, angular cheilitis, dan inflamasi seluruh mukosa rongga mulut. Pada defisiensi vitamin C terjadi gingivitis dengan pembesaran, hemoragik, gingiva merah kebiruan (Newmann et al, 2006).
d.      Kekurangan protein
Hasil deplesi protein di hypoproteinemia dengan banyak perubahan patologis. Kekurangan protein telah terbukti menyebabkan perubahan pada periodonsium, seperti degenerasi jaringan ikat gingiva dan ligamen periodontal, osteoporosis tulang alveolar, deposisi gangguan sementum, tertundanya penyembuhan luka dan atrofi dari epitel lidah (Newmann et al, 2006).
6.      Kondisi sistemik lainnya
a.       Hipopospatasia
Hypophosphatasia adalah penyakit keturunan yang jarang terjadi, gejala klinis satu yang sering yaitu kehilangan dini gigi sulung (Plagmann et al, 1994).  Deposisi mineral seperti kalsium dan fosfat juga terpengaruh. Akibatnya ada tulang yang rusak dan mineralisasi sementum. Hal ini diyakini sebagai sumber perubahan gigi yang terlihat di hypophosphatasia. Perubahan gigi terutama mempengaruhi gigi primer. Perubahan ini mungkin termasuk hipoplasia sementum, kalsifikasi tidak teratur pada dentin, ruang pulpa membesar dan penurunan ketinggian tulang alveolar. Sebuah teori yang lebih baru menunjukkan bahwa meskipun sementum adalah hipoplasia resorpsi sebenarnya sementum yang terjadi karena serangan bakteri. Tanda-tanda klinis oral Hypophosphatasia adalah hilangnya dini gigi primer dengan atau tanpa riwayat trauma ringan. Pada radiografi terlihat ruang pulpa membesar dan penurunan ketinggian tulang alveolar. Histologi gigi yang ditandai dengan kurangnya sementum (Cohn, 2011).
b.      Penyakit jantung bawaan
Salah satu penyakit jantung bawaan yaitu tetralogy of fallot (TOF). Tetralogy of Fallot merupakan kerusakan jantung yang terjadi secara kongenital dimana secara khusus mempunyai empat kelainan anatomi pada jantungnya. Evaluasi dental yang dilakukan meliputi jaringan lunak intraoral, pemeriksaan oklusal, karies, periodontal, dan radiografi terbaru seluruh rongga mulut. Pemeriksaan ini harus dilakukan secara spesifik untuk mendeteksi adanya infeksi akut atau subakut yang dapat mempengaruhi status atau kondisi pasien sesudah prosedur bedah jantung. Abses aktif, fistula, penyakit periapikal, dan penyakit periodontal yang aktif mempunyai potensi yang besar untuk terjadinya bacteremia dan dapat menyebabkan bacterial endocarditis pada pasien yang mempunyai pertahanan tubuh yang rendah. Bakteri rongga mulut, khususnya dari sulkus periodontal, merupakan factor penyebab tersebar terjadinya endocarditis bacterial subakut. Penyebab lain adalah kondisi rongga mulut yang jelek, oral hygiene yang buruk yang menyebabkan perdarahan gingiva dan cara menyikat gigi yang salah sehingga menyebabkan bakteremia (Johari, 2009). Perubahan rongga mulut lainnya yaitu perubahan warna merah keunguan pada bibir dan gingiva (Newmann et al, 2006).
c.       Keracunan logam
Konsumsi logam seperti merkuri, timbal, dan bismuth dalam senyawa obat dan melalui kontak dapat mengakibatkan manifestasi oral yang disebabkan oleh salah satu keracunan atau penyerapan tanpa bukti toksisitas.
1. Keracunan bismuth
Keracunan bismuth kronis ditandai dengan gangguan pencernaan, mual, muntah, dan sakit kuning, serta oleh ulseratif gingivostomatitis, umumnya dengan pigmentasi dan disertai dengan rasa logam dan sensasi terbakar dari mukosa mulut. Pigmentasi bismut dalam rongga mulut biasanya muncul sempit, warna hitam kebiruan dari margin gingiva di daerah yang sudah ada inflamasi gingiva sebelumnya (Newmann et al, 2006).
2. Keracunan timbal
Timbal secara perlahan diserap, dan gejala toksik tidak terlalu pasti bila terjadi. Tanda-tanda oral termasuk air liur, coated tongue, rasa manis yang khas, pigmentasi gingiva, dan ulserasi. Pigmentasi gingiva adalah linier (garis burtonian), abu-abu baja, dan berhubungan dengan peradangan lokal. Tanda-tanda oral dapat terjadi tanpa gejala toksik  (Newmann et al, 2006).
3. Keracunan merkuri
Keracunan merkuri dikarakteristikan dengan sakit kepala, insomnia, gejala kardiovaskular, saliva jelas (ptyalism), dan rasa logam. Pigmentasi gingiva dalam bentuk garis hasil dari deposisi merkuri sulfida. Kimiawi juga bertindak sebagai iritan, yang menonjolkan peradangan yang sudah ada sebelumnya dan sering menyebabkan ulserasi penting dari gingiva dan mukosa yang berdekatan dan kerusakan tulang yang mendasarinya (Newmann et al, 2006).